Habis Sakti, Terbitlah Sakit: Perihal Difabel di Indonesia

Slamet Thohari

Ketidakadilan selalu saja membentang dalam sejarah. Tak peduli zaman Hamurabi atau zaman artis hot Miyabi, di Kalibening atau di California, dalam pikiran seorang santri pesantren Termas atau mahasiswa penggemar Habermas. Mungkin hanya butuh sebuah revolusi, untuk ketidakadilan Den borjuise atau Teuku gentry. Tapi sungguh akut untuk sebuah kategori yang terus dipreproduksi dan diam-diam bergerilnya dalam alam bawah sadar hingga matrix persepsi. Tepat sudah postulat Pramoedya, lelaki Blora yang menjadi satu-satunya hadiah negeri ini untuk dunia selain bulu tangkis, komodo dan mungkin buah manggis: “Ingat Mingke! Bersikaplah adil sejak dalam pikiran”.

Demikian kategori dan persepsi untuk orang-orang difabel. Dalam keseharian musti memangku sebutan “cacat”, “orang tuna” dan kategori buruk yang lain. Setiap jenis kategori, tentu lahir dari proses panjang, berliku dan berlipat-lipat penuh dengan jejalan kuasa. Andai saja, sebuah desa kecil di Andora, atau pulau kecil dekat Jepara. Ada sejuta orang berkaki satu hidup bersama, tentu tak ada harga yang bisa ditawar untuk sebuah kepastian bahwa budaya, ritual agama, alat masak, tangga gereja, akan menyesuaikan dengan tubuh-tubuh tersebut. Sepeda pasti akan beroda tiga, dan tongkat penyangga menjadi komoditas perdagangan yang penting.

Dengan begitu, masalah “cacat” adalah sebuah konstruksi. Setiap konstruksi adalah kebohongan yang dibenarkan, seperti benarnya langit biru, namun tak pernah satu orang pun, bahkan penguasa Saturnus atau Yupiter, yang berani menjamin. Kategori ini mungkin nampak sederhana, namun jangan main-main, rezim supra-kejam Nazi melakukan pembantaian orang-orang yang (di)cacat(kan) ini, bersama para gay dan Yahudi karena kategori mereka adalah “the useless eater”.

Untuk kesekian kalinya, perihal normal dan tidak normal merupakan masalah kosntruksi. Bahkan Foucault menegaskan bahwa normalitas hanyalah urusan yang dibangun sebuah dominasi besar, dimana standard proses industrialisasi paling bertanggungjawab “The normal is… estbalished in the standardization of industruial processes…the forces of the body (in economic term of utility) and diminishes these same force (in term forces of obidience” (Foucault, 1991: 138)Dan kita pun akan dihadapkan begitu banyak kuasa normalitas dalam hari-hari hidup ini: tangga masjid, trotoar yang tinggi, uang kertas yang tak berbrahile, tangga kantor, toilet, warnet di sekitar kampus, pintu masuk berbagai jalur bis dan semuanya. Penuh dengan kuasa normalitas.

Difabel, dari Sakti ke Sakit

Namun dunia selalu punya banyak cerita. Berbeda latar, berbeda pula imaji tentang difabel. Jika dalam Yahudi orang difabel diimajikan sebagai spesies yang tidak layak untuk andil dalam ritual keagamaan. Sehingga—seagaimana dalam Leviticus—orang pincang, buntung, buta dan kerdil mengemban “anugrah” kategori sebagai orang kotor. Mereka tidak layak dilibatkan dalam berbagai ritus, atau sama saja dengan tidak mendapat kasih dan rahmat Tuhan (Colin, 1997) Atau dalam kitab Matius, Yesus Sang penyelamat, sanggup menyembuhkan orang lumpuh. Kelumpuhan merupakan situasi penuh dosa, sehingga saat dosa sudah dibersihkan, sembuh sudah orang tersebut.

St Agustine yang hebat, juga meyakini bahwa difabel mempunyai hubungan erat dengan ilmu sihir. Demikian dengan apa yang terjadi pada abad 19 belas di Eropa, difabel selalu saja dihubungkan dengan kekuatan setan. Bahkan perempuan yang mempunyai anak difabel, dianggap sebagai perseleingkuhan dengan setan atau main-main dengan ilmu sihir (witchcraft) (Colin, 2001) Agama, untuk kesekian kalinya kerapkali mempunyai keculasan. Marthin Luther yang pembrani dan rasionalis juga menyokong dan memproklamasikan pembunuhan bayi-bayi (infanticide) difabel Dan sekali lagi, ini erat hubungannya dengan kategori difabel yang dianggap sebagai “titisan setan”. (Colin, 1997).

Lain cerita dengan Jawa. Sebagai gambaran jika wayang disepakati sebagai replikasi dan imaji masyarakat Jawa, maka pandu-pandu imaji tentang tubuh dan difabelitas menunjukan keunikan. Lara Amis atau Durgandini, tubuhnya amis dan kulitnya mengelupas, dia dekat sekali dengan Dewa. Dia pun seorang anak yang juga seorang difabel yang dibawa dalam pertapaannya. Anak ini kelak adalah orang sakti. Kita pun disugguhkan dengan Destarata dan Pandu yang keduanya juga difabel. Destarata buta dan Pandu dengan wajah pucat aneh, tidak sebagaimana biasa orang.

Punokawan yang merupakan tokoh asli orang Jawa juga merupakan orang difabel. Gareng yang Pincang, Petruk yang Dungu, Bagong yang gendut dan bermulut lebar, atau Semar yang bungkuk, bermuka jelek. Namun, tak ada orang Jawa yang menganggap bahwa mareka adalah orang biasa. Bahkan sebaliknya mereka adalah orang sakti bahkan titisa para Dewa.

Difabelitas sebagai kesaktian juga banyak kita jumpai dalam kehidupan orang-orang Jawa yang lain. Sebagai missal polowijo yang selalu ada dalam kerajaan Jawa. Orang-orang aneh: kerdil, cacat, dan difabel yang lain, diperuntukkan untuk memperteguh kesaktian yang diampu oleh sang raja (Anderson, 1990).
Tak heran bila banyak dijumpai berbagai ornamen kebudayaan Jawa, tentang ritual membisukan diri mengelilingi benteng, tentang Mbah Marijan yang memimpin aksi bisu, mengelilingi lereng merapi untuk mereda semburan api demi keselamatan umat manusia. Bisu pun menjadi pilihan, sebab bisu adalah “ketenangan”, dan kepatuhan pada alam yang menjadi bagian penting pada sistem kosmologi Jawa.

Lalu cerminan kesaktian difabel dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya orang difabel untuk impian mendapat nomor togel, doa orang-orang difabel yang mujarab dan seterusnya. Bahkan tubuh difabel seringkli dianggap ampuh untuk mendatangkan rejeki, sebagaimana replika Petruk pada setiap penjual es dawet Sriayu. Kesimpulan pun dapat dipugut, tubuh-tubuh aneh yang dimiliki kaum difabel, tidak selamanya disubordinasi, namun dalam masyarakat Jawa wujud dan kehadiranya menjadi penting, bahkan sakti.
Kebudayaan bukanlah hal mutlak, namun bergerak arbiter. Demikian tubuh-tubuh difabel pun mengalami pergeseran. Kesaktian yang mandraguna pun mulai berubah oleh oleh kebudayaan yang datang dari negeri Timur Tengah: Islam. Kelak, dalam pandangan Islam, adalah Surga yang berisikan orang-orang cantik, tanpan, perkasa dan sempurna.

Orang-orang difabel juga mendapat suatu pengecualian berupa ruang pengasihan dengan adanya “rukhsoh “ (kelonggaran) saat menjalankan ibadah bila tidak bisa melaksanakan sebagaimana orang normal. Akan tetapi, tetap saja dunia yang ideal adalah dunia “orang normal”. Jelasnya, tubuh difabel kini dinilai sebagai sesuatu yang perlu “dikasiani”. Atau lebih tepatnya, tubuh dinilai secara sosial yang diperuntukkan untuk “orang-orang normal”. Bukan lagi dipandang secara “supranatural” dan bersifat transendental, namun sebagai kelompok devian.

Modernitas merupakan produk yang belum ditemukan presedennya, demikian kata Prof. Daniel Bell. Negara bangsa, ilmu pengetahuan, revolusi industri, demokrasi, dan seterusnya adalah buah dari modernitas yang belum tertandingi. Unsur difabelitas baru kini pun mulai bertambah. Terutama semenjak pertama kali orang-orang kulit putih memperkenalkan pengobatan yang bersandar pada dunia medis yang rasionalis.
Sejak VOC (Verenidge Oost-Indische Compagnie) mengirim para dokter untuk serdadu-serdadu yang terluka. Secara formal dan sistematis tubuh-tubuh diurus oleh kuasa medis. Pada tahun 1621 mulailah dibangun berbagai rumah-rumah kecil khusus untuk pengobatan yang beredar di sekitar benteng-benteng Batavia dimana kuasa sejati ditancapkan. Kuasa medis semakin kuat dan meneguhkan dirinya sejak Tuan Walondo H.W Daendels membenahi sistem dan memperluas rumah-rumah medis bagi militer dengan membentuk jaringan rapi tahun 1808.
Medis menyentuh difabel pun semakin jelas, manakala Professor G.G.K Raindwardt Tahun 1820 memegang kendali manajerial urusan medis Hindia Belanda. Rumah sakit untuk sipil atau stadsverbandhuizen mulai dibuka, lebih jauh lagi di Batavia untuk pertama kalinya stadsverbandhuizen menangani orang yang mengindap usia renta atau menjadi crippled, sekalipun baru sebatas bagi para tahanan. (Scortino, 1996 dalam Peter Boomgard, 1996: 24-29). Demikian luka-luka dan keanehan-keanehan pada tubuh secara diam-diam tidak lagi berhubungan erat dengan Semar, Petruk, atau Sang Pencipta Surga. Namun bagaimana kemampuan dokter menata tulang, menjelaskan aliran darah, atau memberikan informasi tentang virus serta bakteri yang ada dalam tubuh
Tubuh bukan lagi tubuh yang sakti, tapi tubuh yang sakit. Setiap yang sakit musti disembuhkan. Yang lantas, para dokter, menganalisa kaum difabel yang mengindap di dalamnya penyakit. Mereka pun dibedah, disuntik, ditata organ-organnya, jelasnya mereka direhabilitasi, selayaknya rumah yang rusak akibat gempa.
Panti-asuhan (Nursing house), pusat rehabilitasi dibangun dimana-mana. Bahkan mereka yang sakit ini juga dkhususkan, karena tidak mungkin bergabung dengan yang lainnya yang bukan sakit. Untuk itu, lahirlah SLB (Sekolah Luar Biasa), dibangun untuk memisahkan kaum difabel dari masyarakat.
Tubuh-tubuh difabel pun ditata, disendirikan. Karena sebuah kota selalu mengimpikan sebuah kerapian, kemudahan, simplifikasi, dan tentu saja kepatuhan. Foucault, untuk kesekian kalinya memperingatkan kita dengan membedah konsep govermantality yang berintikan pendisiplinan, kontrol, dan tentu saja berujung pada pembersihan demi sebuah impian “kota yang normal”.

SLB ibarat kerangkeng (cage) penyucian agar para difabel bisa bersih dari penyakit atau “aib” yang dideritanya. Agar difabel mempunyai keahlian khusus: menjahit, sol sepatu, pijat berijazah, dst, karena hanya dengan ini mereka dapat menyesuaikan dengan alam “orang normal”. Itu berarti SLB merupakan wilayah penertiban, pendisiplinan dan penggodokan untuk orang difabel agar bagaimana mereka mampu mengikuti kehidupan dengan standar kenormalan.

Di Indonesia, kini terdapat 1.084 Sekolah Luar Biasa. Dari jumlah tersebut 680 swasta dan 404 dikelola oleh pemerintah. Sekolah ini berdiri di mana-mana, dengan tipe dan bentuk yang berbeda-beda. Bahkan banyak diantaranya yang berdasar bentuk tubuh dan perbedaan kemampuan indera mereka: SLB Tuna Daksa, SLB Tuna Netra, SLB Tuna Rungu dan seterusnya. Sekolah Luar Biasa mungkin adalah sekolah yang ingin mengeluarkan mereka menjadi “tidak biasa”.

Dari uraian sederhana ini, kesimpulan kecil pun dapat dipungut. Dunia penuh dengan kuasa. Kuasa “orang normal” adalah salah satu kuasa yang paling besar. Kehadirannya terwujud dalam tulisan atau renungan para ahli tafakur, ada dalam seorang novelis jorok yang suka nimum kopi di Starbucks, para arsitektur minimalis, dan mungkin ada pada laci pikiran Anda.

Jika postulat perempuan energik Gayatri Spivak “This critical work can be practiced, not to give the subaltern voice, but to clear the space to allow it to speak” (Gayatri Spivak, Kilburn, 1996) dapat dibenarkan, maka tentu saja menjadi tugas bersama untuk melakukan “clearing space” atas kuasa-kuasa normalitas yang benar-benar sangat akut dan meresap tajam. Namun begitu, itu pun kalau masih ada, dari sekian juta orang di negeri ini yang masih mau untuk hal yang seperti ini. Semoga!.

4 responses to “Habis Sakti, Terbitlah Sakit: Perihal Difabel di Indonesia

  1. ini postingan keren…menggugah, bikin kepala puyeng. sepertinya aku harus meresnungkan lagi, apakah ketika aku berada di antara teman-teman difabel sejatinya hanya karena merasa normal, sehingga memiliki kuasa atas tubuh dan jiwa mereka?!? suwun, kang….

  2. Pingback: Atlet Bersarung Tangan Butut | Blontank Poer·

  3. Pingback: Habis Sakti, Terbitlah Sakit: Perihal Difabel di Indonesia[1] | PC PMII Sleman·

Leave a comment